HAK CIPTA DAN PENYEBARAN PENGETAHUAN
Diao Ai Lien
Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta
”The constraints to the flow of scholarly information
result not just from prohibitive pricing but from
the restrictions that commercial publishers seek to impose
on the kind of use an individual faculty member can make
of his or her own published work.”
(Pew Higher Education Roundtable, 1998)
2. HAK CIPTA TETAP DIPEGANG OLEH PENULIS
Seandainya hak cipta dipegang dan dikelola oleh penulis, maka inilah yang akan terjadi. Setiap kali ada orang yang ingin memperbanyak, mendistribusikan, dan mengubah (mengalih-media, menterjemahkan, menyadur, dsb.) suatu karya, dia harus menghubungi penulisnya. Syukur apabila penulis tersebut mudah dijangkau melalui e-mail atau telepon. Mengurus perijinan ini pastilah sedikit atau banyak, akan memakan waktu, apalagi kalau memerlukan paper works. Kalau tidak berhasil menghubungi si penulis, maka pengguna akan (harus) mengurungkan niatnya untuk memperbanyak, mendistribusikan, dan/atau mengubah karya tersebut. Ini tentu saja mengurangi penyebaran dan pemanfaatan karya yang bersangkutan. Padahal bukankah kepuasan penulis adalah bila karyanya dapat tersebar seluas-luasnya dan dimanfaatkan oleh banyak orang dalam waktu yang sesingkat mungkin (dikutip oleh banyak orang bahkan langsung sesudah dipublikasi)?
Di samping itu, dalam hal penulis yang memegang dan mengelola hak cipta, penulis akan direpotkan dengan permintaan ijin atau pengelolaan lisensi, terutama bila dia begitu produktif dan banyak pihak yang ingin menyebarluaskan dan mengubah karyanya. Hal ini sedikit atau banyak akan memperlambat urusan perijinan
Dari segi penerbit, apakah pemberian lisensi kepada penerbit tidak akan meningkatkan harga beli atau langganan karya ilmiah? Bisa ya bisa tidak tergantung seberapa banyak harga yang harus dibayar oleh penerbit kepada setiap penulis untuk setiap artikel. Bayangkan kalau agen database elektronik yang memuat ratusan jurnal dan ratusan ribu artikel harus membayar lisensi untuk setiap artikel yang terkandung di dalam databasenya.
B. PENERAPAN HAK CIPTA DI ERA KEMAJUAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI
Di era kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ini, publikasi, alih media, dan penyebaran informasi bisa dilakukan dengan mudah oleh siapa saja dan ke mana saja. Selesai menulis, meskipun baru berupa draft pertama, penulis dapat segera menaruhnya di suatu situs, webblog, ataupun milis. Melalui sarana ini, penulis bisa meminta masukan dari pembaca yang berasal dari pelbagai bangsa dan disiplin ilmu. Penulis dengan mudah bisa merevisi publikasinya, kapan saja (tidak harus menunggu sampai karya tersebut beredar selama 1 tahun misalnya, atau sesudah cetakan pertamanya habis terjual). Di samping itu, penulis dan setiap orang yang mengetahuinya, dapat menyebarkan alamat dokumen tersebut melalui milis atau email pribadi. Dokumen tersebut pun dengan mudah dapat dimanfaatkan oleh siapa saja.
Praktek tersebut di atas, yang disebut dengan open access, sudah merupakan perkara biasa di dunia maya. Hal ini sudah terbukti mempercepat penyebaran dan pemanfaatan karya ilmiah. Menurut Sahu, Gogtay, & Bavdekar (2005), open accessmemperbaiki tingkat kutipan (citation rates) di bidang fisika, matematika, dan astronomi6. Penelitian mereka terhadap sebuah jurnal multi-disiplin yang mengadopsi open access (OA) setelah 10 tahun terbit (setelah tahun 2000), menemukan antara lain, bahwa tidak satu pun artikel yang dipublikasikan sebelum OA dikutip pada tahun terbit. Sebaliknya, artikel yang dipublikasikan setelah OA, yaitu tahun 2002, 2003, dan 2004, dikutip 3, 7, dan 22 kali berturut-turut pada tahun terbit7.
Dengan bantuan teknologi, sepanjang tidak dibatasi oleh hak cipta (terutama hak ekonomi), percepatan penyebaran dan pemanfaatan pengetahuan bisa dengan mudah berlangsung tidak hanya di dalam disiplin ilmu yang sama, tetapi juga lintas disiplin. Kolaborasi ilmiah bisa berlangsung dengan mudah secara lintas batas geografi, waktu, disiplin, hirarkhi sosial, dan budaya. Kemudahan ini sangat mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan.
Sebetulnya, pertanyaan yang mendasar adalah apakah masih dapat dibenarkan pemberlakuan hak cipta yang jangka waktunya begitu lama kalau memang perkembangan ilmu pengetahuan menjadi kepedulian utama semua pihak? Apalagi sampai memberlakukan harga yang begitu tinggi untuk lisensi setiap tahun per pengguna untuk dokumen elektronik yang tidak dapat diakses lagi pada saat sudah tidak dilanggan.
Sebetulnya, dasar pemberlakuan hak cipta adalah bahwa penulis perlu mendapat insentif untuk keorisinilan karyanya. Namun pertanyaannya adalah: siapakah sesungguhnya penulis suatu karya ilmiah?
Pengembangan ilmu pengetahuan merupakan usaha kolektif yang melibatkan ilmuwan yang hidup sejak dahulu sampai yang akan datang, karena pengembangan pengetahuan senantiasa (harus) didasarkan pada penemuan-penemuan terdahulu. Dalam kenyataannya pun, suatu karya ilmiah jarang merupakan karya murni (utuh) penulisnya. Di dalamnya ada banyak pemikiran orang lain. Mungkin hanya sekian persen saja dari suatu karya merupakan hasil dari penulisnya (kecuali hasil penelitian yang berdasarkan eksperimen di laboratorium). Dalam kenyataannya juga, bahkan pengguna turut memberikan sumbangan pemikiran dalam penerbitan suatu karya (dengan cara memberikan opini secara lisan maupun tertulis, melalui Internet atau dalam seminar,dsb.). Menurut Durham8, ”Naive acceptance of authorship as a predominantly individual and creative act may foster authorial rights that are too broad or too powerful for the good of society.”
Dengan demikian, tidak adil kalau atas suatu karya ilmiah, hak cipta (hak ekonomi) hanya diberikan pada penulisnya yang terdiri dari satu atau beberapa orang yang tercantum di bawah judul suatu karya. Apalagi kalau hak itu kemudian diberikan kepada penerbit yang justru (hampir) tidak turut dalam penciptaan namun yang akan mendapat keuntungan ekonomi terbesar.
Karena itu, sudah waktunya untuk memikirkan beberapa skenario lain untuk pengelolaan hak cipta, yaitu:
1. hak cipta direduksi menjadi hanya hak moral
2. hak cipta diberlakukan secara utuh tetapi tidak eklusif
3. hak cipta diberlakukan secara utuh dan eksklusif tetapi dalam jangka waktu yang terbatas
4. pilihan 1-3 diserahkan pada penulis atau kesepakatan antara penulis dan penerbit.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, C. (1999). Hak cipta: pelanggaran hak cipta dan perundang-undangan terbaru hak cipta indonesia. Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri.
Birdsall, W.F. (2005). Towards an integrated knowledge ecosystem: a canadian research strategy. A report submitted to the Canadian Association of Research Libraries / L'Association des bibliothèques de recherche du Canada (CARL/ABRC). Ditelusuri pada tanggal 11 April 2006 dari http://www.carl-abrc.ca/projects/kdstudy/public_html/results.html
Durham, A.L. (2004). Brigham Young University Law Review, vol. 2004, iss.1, 69
hlm.
Houghton, J.W., Steele, C., dan Henty, M. (2003). Changing research practices in the
digital information and communication environment. Ditelusuri dari http://www.dest.gov.au/sectors/research_sector/publications_resources/other_publications/changing_research_practices.htm pada tanggal 1 April 2006.
Nentwich, M. (2001). (Re-) de-commodification in academic knowledge distribution? Paper for the 5 th ESA Conference, SSTNET session 4 on “Commodification of Knowledge”, 28/8-1/9 2001, Helsinki University. Sahu, D.K., Gogtay, N.J., and Bavdekar, S.B. (2005). Effect of open access on citation rates for a small biomedical journal. Paper presented in the Fifth International Congress on Peer Review and Biomedical Publication, 16-18 September 2005, Chicago, USA. Ditelusuri dari http://openmed.nic.in/1174/ pada tanggal 1 April 2006.
Wikipedia. Ditelusuri dari http://en.wikipedia.org/wiki/Copyleft pada tangal 21 Desember
2004
Nama Kelompok:
1. Dini Iriani (22212195)
2. Kasanti Oktaviani (24212039)
3. Richky Aprisia (26212280)
4. Rofifah Pratiwi (26212666)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar