Selasa, 06 Mei 2014

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL


SEJARAH DAN TEORI PERLINDUNGAN
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Syafrinaldi
(Dosen tetap dan Direktur Pascasarjana Universitas Islam Riau)

D.   Kelahiran Teori Hak Milik Intelektual
Istilah Hak Milik Intelektual (HAMI) atau yang dikenal dalam bahasa asing “geistiges Eigentum” (Jerman), atauintellectual property right (Inggris), atau intelectuele propriete(Perancis) sangat dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang hak milik. Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak milik dari seorang manusia terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada sejak manusia itu lahir. Jadi benda dalam pengertian di sini tidak hanya benda yang berwujud tetapi juga benda yang abstrak, yang disebut dengan hak milik atas benda yang tidak berwujud yang merupakan hasil dari intelektualitasmanusia.
            Sehubungan dengan munculnya ajaran baru tentang Hak Milik Intelektual, I. Kant dalam bukunya “Von der Unrechtmabigkeit des Buchernachdrucks” tahun 1785 menekankan, bahwa si pencipta (Autor) memiliki hak yang tidak bisa dilihat atas karyanya, yang oleh Kant hak itu disebut dengan “Ius Personalissimus”, yaitu hak yang lahir dari dalam dirinya sendiri (hak kepribadian). Sementara itu filsuf lain,  sepertiFichte mengutarakan, bahwa seorang autor mempunyai hak atas suatu karya intelektualitasnya. Fitche lalu membedakan antara buku yang merupakan hasil karya dalam bentuk cetakan dengan isi dari buku itu sendiri (tulisannya). Dengan pembedaan ini eksistensi ajaran “geistiges Eigentum”  di Jerman semakin kokoh dikalangan masyarakat umum. Hegeljuga membedakan benda dalam dua bentuk: benda nyata (Sacheigentum) dan produksi intelektualitas manusia (geistige produktion).
Seorang Jurist Jerman yang bernama, Klostermann, pada tahun 1869 untuk pertama kalinya memakai istilah Hak Milik Intelektual (geistiges Eigentum) dalam karya yang berjudul: “Das geistige Eigentum an SchriftwerkenKunstwerkenund Erfindungen nach preubischem und internationalem Recht”, jilid 1. Karya Klostermann ini akhirnya memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi lahirnya peraturan perundangan dalam bidang Hak cipta dan desain industri di Norddeustschen Bundes dan Jerman Raya (Deutsches Reich). Pada tahun 1878 karya Klostermann ini mengalami perbaikan dan penyempuranaan dan terbit dengan judul yang baru “Das Urheberrecht an Schriftwerken, Abbildungen, musikalischen Kompositionen und dramatischen Werken”. Karya Klostermann yang lain adalah: “Das Urheberrecht an Schrift- und Kunstwerken, Abbildungen, Kompositionen, Photographien, Mustern und Modellen”, juga “Die Patentgesetzgebung aller Lander nebst den Gesetzen uber Musterschutz und Markenschutz” setahun kemudian tahun 1877 muncul lagi karya dalam bidang paten “Das Patentgesetz Fur das Deutsche Reich”. Bertitik tolak dari karya Klostermann ini, maka pengertian dari istilah “Hak Milik Intelektual” (geistiges Eigentum) mencakuptidak hanya Hak Cipta saja, melainkan juga paten, paten sederhana, merek, disain industri dan tata letak sirkit terpadu.

E.    Teori tentang Hak Kepribadian (Moral Right or Personlichkeitsrecht) dan Hak atas Benda Tak Berwujud (Immaterialguterrecht)
Pada Hak Milik Intelektual sesungguhnya terkandung dua sisi: hak kepribadian dan hak yang bersifat material (ekonomis). Pandangan kedua sisi ini pula yang melahirkan dua teori yang cukup tersohor dalam perkembangan Hak Milik Intelektual sampai pada hari ini. pandangan pertama mengatakan, bahwa Hak Milik Intelektual itu terdapat kedua aspek itu yang merupakan satu kesatuan. Akan tetapi di antara kedua aspek itu, aspek kepribadian lebih dominan, karena terjalinnya hubungan yang erat antara si pencipta dengan ciptaannya. Teori ini dikenal dengan Monistism Theory (Teori Monistisme) yang dipelopori oleh Bluntschi dan kemudian dikembangkan oleh Gierke. Teori ini, seperti dikemukakan oleh Gierke, lebih jauh menjelaskan, bahwa sebuah karya cipta adalah merupaakn hasil / produk dari intelektualitas manusia, sehingga menimbulkan hubungan sangat erat antara karya cipta dengan si penciptanya (autor). Jadi, teori ini menempatkan sifat kepribadian dari si penciptanya sebagai hal yang “Primair” dan menempatkan sifat ekonomisnya sebagai hal yang “Sekundair”. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa kepentingan kepribadian si pencipta lebih ditonjolkan dari pada kepentingan ekonomisnya. Sehingga, jika si penciptanya sudah meninggal, ahli warisnya masih tetap mempunyai hak untuk mempertahankan kepentingan kepribadian si penciptanya. Kepentingan si pencipta itu bersifat abadi dan kekal (Forever), sedangkan kepentingan ekonomis si pencipta itu terbatas dengan waktu, seperti untuk Hak Cipta dibatasi sampai 50 (lima puluh) tahun p.m.a
Pandangan kedua yang dikenal dengan teori Dualistism(teori Dualistisme) mengatakan, bahwa antara sisi kepribadian dan ekonomis itu merupakan dua hal yang terpisah satu sama lainnya. Hak cipta merupakan hak yang didalamnya terkandung nilai ekonomis semata. Teori ini dipelopori oleh ahli hukum terkenal dari Jerman, Josef Kohler dengan teorinya yang terkenal dengan “Immaterialguterrecht”. Kohler menjelaskan, bahwa adanya hubungan yang sangat istimewa antara orang (autor) dengan benda tak berwujud (immateriales Gut). Jadi, menurut kohler, aspek ekonomis dari Hak Milik Intelektual lebih menonjol dari aspek kepribadiannya.
Dari kedua teori di atas melahirkan teori ketiga yang pada prinsipnya merupakan penyempuranaan dari pandangan yang pertama, sehingga teori ini disebut dengan the modern monistism theory (teori monistisme modern)-menurut teori ini, antara aspek kepribadian dan ekonomi dari Hak Milik Intelektual ini merupakan satu kesatuan yang utuh. Keduanya sama-sama mendapat perlindungan hukum dari hukum positif, baik oleh hukum internasional maupun oleh hukum negara-negara nasional. Teori ini di Jerman dipelopori oleh Jurist abad ke 20, seperti Ulmer, Schricker, dll. Dalam Urhebergesetz tahun 1965 (UUHC Jerman) pasal 11 secara jelas menganut teori yang terakhir ini. Begitu juga dengan UU Hak Cipta No. 6 tahun 1982 juga menganut paham yang ketiga ini.

F.    Pengaruh Hukum Internasional dalam Perkembangan Hak Milik Intelektual
Peranan Hukun internasional, baik perjanjian bilateral maupun multilateral, dalam perkembangan hokum tentang perlindungan Hak Milik Intelektual tidak dapatdipungkiri. Hal ini bias dilihat dari berbagai perjanjian bilateral yang diadakan oleh Negara-negara atau Negara dengan kota pada waktu itu dengan tujuan melindungi Hak Milik Intelektual seperti Hak Cipta. Misalnya saja perjanjian Preuben (Jerman pada waktu itu) dengan kerajaan Inggris pada tanggal 13 Mei 1846 dan 14 Juni 1855. Perjanjian antara kota Hannover (di Jerman) dengan kerajaan Inggris tanggal 16 Agustus 1853.
Pada tingkat perjanjian multiteral, pada tanggal 20 Maret 1883 telah ditanda tangani konversi Paris tentang Perlindungan Hak Milik Perindustrian (Paris Convention for the Protection of Industrial Property).Sepuluh Negara yang sepakat pada waktu itu ialah: Belgia, Jerman, Prancis, Inggris, Itali, Luxemburg, Monako, Swiis, Spanyol dan Tunisia. Perjanjian Bern merupakan tonggak sejarah penting dalam hokum internasional untuk memberikan perlindungan hukum atas Hak Milik Intelektual, khususnya Hak Cipta, sedangkan perjanjian Paris untuk bidang Hak Milik Perindustrian, seperti Paten dan Merek, desain Industri, rahasia dagang, desain tata letak sirkit terpadu, perlindungan varietas tanaman dan anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian Bern telah beberapa kali mengalami perbaikan dan penyempurnaan, yaitu pada tanggal 13 November 1908 dan tanggal 20 Maret 1914 di Berlin, tanggal 2 Juni 1928 di Roma, tanggal 26 Juni1948 di Brussel, tanggal 14 Juli 1967 di Stockohlm dan di Paris tanggal 24 Juli 1971. Indonesia sejak 5 Juni 1997 telah meratafikasoBern dan dengan demilian terikat dengan Hukum internasional tersebut.
Setelah ditanda tangani perjanjian Paris dan Bern, beberapa perjanjian internasional lainnya mengikuti langkah sepuluh Negara penandatangan perjanjian Bern dengan mendirikan berbagai organisasi internasional yang bertugas untuk memperhatiakn masalah perlindungan Hak Milik Intelektual di berbagai Negara di dunia.
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang diploklamirkan oleh PBB (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 dalam Artikel  27 Ayat 2 juga telah meningkatkan kepada Negara-negara dunia tentang perlindungan Hak Milik Intelektual itu. Art. 27 Ayat 2: “Everyoney has the right to the protection of the moral and material interests from any scientific, literary or artistic production of which he is the author”.
Perjanjian internasional untuk mendirikan Organisasi Hak Milik Intelektual seDunia (World Intellectual Property Organisation – WIPO/ OMPI) dilakukan pada tanggal 14 Juli 1967 di Stockohlm. Organisasi ini bertugas untuk menggalang kerja sama antara Negara dalam bidang perlindungan Hak Milik Intelektual, seperti yang termaktub dalam artikel 3 huruf i WIPO, organisasi ini tidak saja mengurusi mengenai HakCipta, tetapi juga Hak Milik dalam bidang Industri, seperti paten, rekaman suara, hak penyiaran, muster dan model, merek dan merek dagang serta masalah paten. WIPO adalah merupakan pusat administrasi dari perjanjian Bern dan mempunyai kerjasama yang erat dengan organ Persatuan Bangsa-Bangsa UNESCO (United Nations for Education, Social and Cultul Organisation).
Setelah ketidakberdayaan GATT (General Agreement on Tariff and Trade) dalam menjalankan misinya dalam mengatur berbagai hal dalam perdagangan dan tariff intenasional, maka sejak tanggal 15 April 1994 secara resmi GATT diganti dengan lembaga baru yang mengurusi mengenai perdagangan dunia yang dikenal denga World Trade Organisatio(WTO). Di samping WTO pada waktu yang sama juga dihasilkan Perjanjian yang berkenaan dengan aspek-aspek Hak Milik Intelektual (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights – TRIPs). Dalam Preambel Perjanjian TRIPs ini dinyatakan, bahwa TRIPs bertujuan untuk memberikan perlindungan huku yang lebih baik kepada Hak Milik Intelektual.

G.   Perlindungan Hak Milik Intelektual di Indonesia
Sebagai negara bekas jajahan Belanda, maka sejara hukum tentang perlindungan HAMI di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan sejarah hukum serupa di Belanda pada masa itu, karena hampir segala peraturan yang berlaku di Belanda waktu itu juga diberlakukan di Hindia Belanda (nama Indonesia waktu itu) dengan azas konkordansi. Maka dari itu bila kita lihat dari masa penjajahan sampai sekarang ini, usia HAMI boleh dikatakan sudah lama. Tapi bila dilihat dengan kenyataan yang ada sampai saat ini, maka ketentuan HAMI masih jauh dari yang diharapkan menurut standar Internasional, baik dilihat dari rumusan hukum positif apalagi dari segi pelaksanaan hukum itu sendiri di lapangan dalam menghadapi kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran HAMI.
Berdasarkan kepada pasal II aturan Peralihan UUD 1945, segala peraturan perundang-undangan yang dibuat pada zaman penjajahan dan yang berlaku sampai saat ini dinyatakan masih berlaku sepanjang peraturan tersebut belum diganti dengan yang baru dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Secara khusus Keputusan Pemerintah tanggal 10 Oktober 1945 juga menegaskan hal itu. Berikut uraian sejarah HAMI di Indonesia.
1.      Hak Cipta
UUHC yang pertama berlaku di Indonesia adalah UUHC tanggal 23 September 1912 (Auterswet 1912) yang berasal dari negeri Belanda.  UUHC tahun 1912 ini masih terus diberlakukan, meskipun baru untuk pertama kalinya Indonesia mencoba untuk mewujudkan suatu UU nasional tentang Hak Cipta. Usaha untuk mewujudkan UUHC nasional ini dirintis dengan dihasilkannya RUU tentang Hak Cipta yang untuk pertama kalinya dibicarakan pada tanggal 9 Januari 1965. Kajian lanjut tentang RUU ini pada tanggal 20 sampai dengan 22 Oktober 1975 diadakan seminar tentang Hak Cipta guna mendapatkan masukan dari masyarakat tentang nasib RUU tersebut. Setelah menjalani waktu yang cukup panjang pada tanggal 12 April 1982 RUU Hak Cipta disetujui oleh DPR untuk ditetapkan menjadi UU No. 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta dan diberlakukan sejak hari itu juga. Dengan diberlakukannya UU No. 6 Tahun 1982, maka UUHC tahun 1912 dinyatakan tidak berlaku lagi. Lima tahun kemudian UUHC ini mengalami perubahan dengan UU No. 7 tahun 1987 dan 12 tahun kemudian dirubah lagi dengan UU No. 12 tahun 1997. Perubahan terhadap UU tentang Hak Cipta, Paten dan Merek pada tahun 1997 ini memang merupakan satu paket reformasi hukum dalam bidang HAMI. Pada tanggal 11 Juli 2002 Dewan Perwakilan Rakyat RI telah pula menyetujui RUU Hak Cipta menjadi Undang-Undang Hak Cipta yang baru dan sekaligus menggantikan UU Hak Cipta yang lama.
2.      Paten
Peraturan zaman penjajahan tentang HAMI, dapat dikatakan sebagai ketentuan hukum tentang paten yang tertua di bidang HAMI. Dalam“Reglement op het verlenen van uitsluitende regten op uitvindingen, invoeringen en verbeteringen van voorwerpen van kunst en volksvlijk 1817”(ketentuan tentang pemberian hak secara eksklusif terhadap penemuan, pengenalan dan perbaikan atas bidang kesenian rakyat) yang kemudian tahun 1844 diberlakukan di Hindia Belanda. Pada tahun 1870 undang-undang ini tidak diberlakukan lagi atau dicabut. Undang-undang ini tidak segera diganti dengan yang baru, karena baru pada tahun 1911 UU tentang Paten diberlakukan yang setahun sebelumnya (tahun 1910) sudah diberlakukan di Belanda. UU tahun 1911 ini kemudian mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan. Perbaikan dan penyempurnaan itu dilakukan pada tahun 1916, 1921, 1922, 1931, 1936, 1937 dan terakhir tahun 1949. Setelah Indonesia merdeka, keberadaan UU tentang Paten ini mulai mendapat perhatian pada Jurist Indonesia, karena prinsip souverenitat yang dianut oleh UU ini sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan nafas kemerdekaan RI. Sebabnya adalah, bahwa wewenang pengujian paten berada di Belanda, sedangkan Jakarta atau Indonesia hanya dianggap sebagai kantor cabang dari kantor paten pusat di Belanda. Hal ini jelas bertentangan dengan kedaulatan negara Indonesia sebagai negara merdeka yang diakui oleh dunia internasonal.
Berdasarkan kepada hal di atas, maka pada tanggal 28 Agustus 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan Pengumuman tentang Pencatatan Sementara untuk Paten. Ketentuan ini merupakantemporary lawdi bidang paten untuk mengisi kekosongan hukum dan juga sebagai bukti, bahwa sebagai negara berdaulat Indonesia tidak bisa didikte oleh kekuatan luar negeri termasuk dalam hal paten. Polemik ketentuan hukum tentang paten ini baru dapat diselesaikan setelah pemerintah mengeluarkan UU No. 6/1989 tentang Paten. Dengan diberlakukannya UU No 6/ 1989, maka muncul pertanyaan: apakah Pengumuman Menteri Kehakiman RI tanggal 28 Agustus 1953 masih tetap berlaku? Untuk jawabannya lihat pasal 131 ayat 1 dinyatakan, bahwa dalam waktu satu tahun sejak tanggal mulai berlakunya UU No 6/1989, mereka yang telah mengajukan pendaftaran permintaan paten berdasarkan Pengumuman Pemerintah tahun 1953 dalam 10 tahun sebelum tanggal mulai berlakunya UU No. 6/ 1989 ini, dapat mengajukan permintaan paten berdasarkan ketentuan undang-undang. Selanjutnya ayat 2 menjelaskan lagi, bahwa apabila permintaan paten yang telah terdaftar dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak diajukan kembali dalam saktu satu tahun terhitung sejak tanggal berlakunya UU ini, permintaan paten tersebut dianggap berakhir. Ayat 3 melanjutkan lagi, bahwa pendaftaran permintaan paten berdasarkan Pengumuman Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 yang diajukan lebih dari 10 tahun sebelum mulai tanggal berlakunya UU ini, dinyatakan  gugur. UU tentang Paten ini pada tahun 1997 mengalami revisi dengan UU No. 13 tahun 1997. Pada akhirnya UU Paten 1997 ini digantikan oleh UU Paten No. 14 tahun 2001.
3.      Merek
Ketentuan hukum tentang perlindungan atas merek untuk pertama kalinya dimuat dalam KUH Pidana (Wetboek van Strafrecht – WvS) Hindia Belanda tahun 1848. Pasal 89 WvS menetapkan, bahwa penyalahgunaan atas segel, stempel dan merek atas lembaga Bank atau perdagangan yang dilindungi oleh hukum. Sedangkan undang-undang tentang merek untuk Hindia Belanda baru ditetapkan pada tahun 1885. Delapan tahun kemudian, tahun 1893 setelah Perjanjian Madrid tentang Pendaftaran Merek Internasional disetujui, UU Merek baru bagi Hindia Belanda diberlakukan untuk menggantikan UU Merek sebelumnya. UU Merek ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1894. Pada tahun 1905 UU Merek ini mengalami perubahan dengan Stb. No. 427 tahun 1905. Selanjutnya UU Merek tahun 1905 digantikan dengan UU Merek yang baru pada tahun 1912 (Reglement Industrieele Eigendom 1912) yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Maret 1913.
Enam belas tahun setelah Indonesia merdeka baru pada tahun 1961 mempunyai undang-undang nasional tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan, yakni UU No. 21 tahun 1961. Berbagai kelemahan yang dimiliki oleh UU No. 21 ini menyebabkan Pemerintah Indonesia untuk menggantikannya dengan UU tentang Merek yang baru dengan UU No. 19 tahun 1992. Dengan diberlakukannya UU No. 19 ini, maka UU No. 21 tahun 1961 dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 89 UU No. 19/1992). UU No. 19/1992 ini baru berlaku secara efektif pada tanggal 1 April 1993. UU Merek yang baru berlaku empat tahun ini mengalami nasib yang sama dengan UU tentang Paten, karena pada tahun 1997 UU No. 19/ 1992 direvisi dengan UU No. 14 tahun 1997. Seperti halnya UU Paten, UU Merek baru yakni UU No. 15 tahun 2001 menggantikan UU Merek yang lama.

H.    Penutup
Dari perkembangan sejarah lahirnya Hak Milik Intelektual di atas, dapat dipahami dengan jelas betapa bijaknya para ilmuwan dulu yang telah melahirkan suatu gagasan atau ide untuk memberikan perlindungan hukum terhadap suatu karya Hak Milik Intelektual. Jerman dapat dikatakan sebagai negara tertua yang mempelopori lahirnya hukum perlindungan Hak Milik Intelektual yang kemudian diikuti ileh negara-negara Eropa lainnya.
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam perjalanan waktu dari masa ke masa telah menunjukkan kepada kita bahwa perkembangan hukum internasional dalam bidang Hak Milik Intelektual sangat monumental sekali sebagaimana bisa dilihat dengan lahirnya TRIPs-Agreement pada tahun 1994.TRIPs-Agreement menyampaikan pesan komando kepada negara-negara internasional untuk melakukan harminisasi peraturan perundang-undangan nasional dengan TRIPs-Agreement dan ketentuan-ketentuan hukum internasional lainnya

Daftar Pustaka

Bluntschi, Deutsches Privatrecht, 1864, hal.15; bandingkan juga Rehbinder, Johan Caspar Bluntschi Beitrag zur Theorie des Urheberrechts, dalam UFITA Jilid 123/1993.
Fichte, Beweis der Unrechtmabigkeit des Buchernadrucks, 1973, dalam Berliner Zeitschrift, Jilid ke 21.
Gierke, Deutsches Privatrecht, 1895 Band 1, edisi cetakan ulang tahun 1936, hal. 748 dstnya.
Hegel, Vorlesungen uber Rechtsphilosophie 1811-1831, Edition dan Kommentar von llting, Karl-Heinz, Jilid 3, 1974, h. 68, 69.
Hubmann, Geistiges Eigentum, dalam Bettermann/ Nipperdey/ Scheuner, Die Grundrechte, Handbuch der Theorie und Praxis der Grundrechte, Jilid IV.
Institutiones II. 1. 33; Digesta XLI.1.9.1; Gieseke, Die geschichtliche Entwicklung des deutschen Urheberrechts, 1957.
Lembar Negara No. 15 Tahun 1982.
LembaranNegara No. 290 Tahun 1961.
Lembaran Negara No.31 Tahun 1997.
Lembaran Negara No. 81 Tahun 1992.
Lembaran Negara  RI No. 29 Tahun 1997.
Lembaran Negara  RI No. 30 Tahun 1997.
Lembaran Negara  RI No. 39 Tahun 1989.
Lembaran Negara  RI No. 42 Tahun 1987.
Locke, 1988, Two Treatises of Goverment, edited and introduced by Peter Laslett.
Schricker, Urheberrecht: Kommentar, 1987.
Staatsblad No. 109 tahun 1885.
Staatsblad No. 545 tahun 1912.
Ulmer, 1980, Urheber-und Verlagsrecht.

2EB12
NAMA KELOMPOK :
DINI IRIANI                            ( 22212195 )
KASANTI OKTAVIANI         ( 24212039 )
RICHKY APRISIA                  ( 26212280 )
ROFIFAH PRATIWI               ( 26212666 )

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL


SEJARAH DAN TEORI PERLINDUNGAN
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Syafrinaldi
(Dosen tetap dan Direktur Pascasarjana Universitas Islam Riau)

A.   Pendahuluan
Hukum perlindungan Hak Milik Intelektual (HAMI) adalah sangat penting, sehingga tidak menjadi urusan pemerintah semata melainkan menjadi tanggung jawab kita semua. Apalagi hak milik intelektual tidak hanya bersinggungan dengan masalah nama dan kehormatan saja bagi si pencipta maupun bagi si penemu dalam hal paten,tetapi sudah merupakan salah satu pintu gerbang untuk menghasilkan uang bagi pemilik hak intelektual/karya cipta dan penemu termasuk keluarganya.
Perkembangan ilmu dan teknologi (iptek) yang sangat cepat tidak hanya telah memberikan kemudahan bagi umat manusia dalam menyelesaikan pekerjaanya sehari – hari dalam berbagai segi kehidupan, tetapi juga telah mengancam sumber rezeki bagi si pencipta/ si penemu yang telah menghasilkan berbagai karya cipta dan penemuan sebagai hasil daya kreatifitasnya dalam mewujudkan mutu intelektualitasnya sebagai sumbangan untuk turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbagai praktek pelanggaran terhadap hak milik intelektual ini telah berlangsung sejak lama dan hingga kini masih saja terjadi bahkan dengan intensitas yang lebih tinggi. Apalagi kemajuan iptek turut memfasilitasi pelanggaran hak milik intelektual itu dengan berbagai cara seperti pembajakan buku, film dan rekaman lainnya melalui disket, CD, VCD, LD dan lain – lain cara atau yang dikenal dengan istilah “Multi Media” yang pada kenyataannya sangat sukar untuk dipantau. Celah – celah pelanggaran inilah yang seringkali dimanfaatkan oleh pihak – pihak yang hendak meraup keuntungan besar dengan cara yang mudah dengan sedikit mengeluarkan biaya, tanpa memikirkan kerugian pihak lain, seperti si pencipta / si penemu dan negara.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran secara lengkap dan rinci tentang hukum yang mengatur tentang perlindungan HAMI mulai dari sejarahnya dari abad kuno hingga saat ini, juga menelaah keberadaan peraturan perundang – undangan nasional serta juga hukum internasional dalam bidang HAMI. Karena itu, topik ini sangat bermanfaat untuk dibaca dan ditelaah tidak hanya untuk tujuan ilmiah bagi mahasiswa dan dosen, tetapi juga bagi kalangan praktisi seperti pengusaha, pengacara dan para penegak hukum yang ingin mendalami hukum tentang perlindungan HAMI.

B.    Abad Kuno dan Pertengahan
Sejarah Hak Milik Intelektual sudah berlangsung lama sekali. Namun
Pengakuan masyarakat internasional terhadap hak milik yang memilik special character ini dan yang berbeda dengan hak milik pada umumnya seperti benda (barang) nyata (materialles Eigentum) masih baru. Lamanya proses pengakuan ini dikarenakan oleh faktor tidak sadarnya masyarakat internasional pada waktu itu tentang sifat yang melekat pada Hak Milik Intelektual itu, sebab mereka belum mengenal hak milik dalam bentuk lain selain benda atau barang.
            Hak Milik intelektual dapat dibagi atas hak cipta, paten, merek, desain industri, rahasia dagang, desain tata letak sirkit terpadu, perlindungan varietas tanaman dan anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pada abad kuno dan pertengahan (Altertum dan Mittelalter) hak cipta belum dikenal oleh masyarakat, sekalipun banyak karya cipta yang telah dihasilkan oleh manusia pada waktu itu. Karya cipta dianggap sebagai hal biasa yang eksistensinya tidak perlu dilindungi oleh peraturan perundang – undangan (Gesetz), karena mereka beranggapan, bahwa hak cipta tidak memiliki arti yang strategis dalam kehidupan manusia, seperti rumah, tanah atau benda lainnya.
            Corpus Juris yang menyadari kehadiran Hak Milik Intelektual berupa ciptaan dalam bentuk tulisan atau lukisan diatas kertas. Namun pandangan itu belum sampai kepada pembedaan antara benda nyata (materialles Eigentum)  dengan benda tak nyata (immmaterialles Eigentum) yang merupakan produk kreasi intelektualitas manusia. Istilah immaterialles Eigentum inilah yang sekarang disebut dengan Hak Milik Intelektual (HAMI) atau Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang merupakan terjemahan dari kata asing “geistiges Eigentum” atau “intellectual property right”.
            Pada abad pertengahan, fenomena pengusaan sesuka hati terhadap Hak Cipta oleh publik semakin meningkat, karena waktu itu orang dapat dengan sesuka hatinya memperbanyak ciptaan orang lain dan memperjualbelikannya, sehingga fenomena itu melahirkan teori tentang Hak Milik Percetakan (verlagseigentumslehre). Jadi, pada masa ini karya cipta manusia itu masih dianggap sebagai penjelmaan dari ciptaan Tuhan, sehingga kehadirannya di tengah – tengah masyarakat dianggap sebagai karya cipta yang tidak bertuan atau “anonym”.

C.   Masa Keistimewaan (Privileg) dan Hak Milik Percetakan
Yang dimaksud dengan masa hak keistimewaan atau privileg adalah dimana hak untuk memperbanyak suatu karya cipta diberikan kepada percetakan/penerbit. Artinya, percetakan mendapat hak istimewa (Privileg) untuk memperbanyak dan menjual hasil ciptaan seseorang. Yang berhak memberikan hak istimewa ini adalah raja ataupun penguasa.
Era privileg ini telah dimulai sejak ditemukannya cetakan buku di Gutenberg Jerman sekitar tahun 1445 dan Kupfertich serta seni pahat kayu (Holzschneidekunst). Dari sini muncul teori tentang larangan untuk mencetak ulang suatu buku, kecuali diperolehnya privileg (izin) untuk melakukan cetak ulang. Pemberian privileg pada prinsipnya dimaksudkan untuk memerangi kejahatan pembajakan buku yang biasa dilakukan dengan cara mencetak ulang buku tersebut dalam jumlah besar dan secara ilegal. Privileg pertama diberikan oleh kota Venesia (itali) kepada Johan von Speyer pada tahun 1469 untuk jangka waktu 5 tahun. Ini merupakan teori awal yang menunjukan, bahwa Hak Milik Intelektual ini dibatasi oleh waktu. Anehnya Privileg yang diterima Johan von Speyer bukan dimaksudkan sebagai suatu perlindungan hukum terhadap karya – karya sastra, melainkan perlindungan terhadap suatu proses baru, yakni seni dari suatu cetakan buku (Buchdruckkunst). Dengan ketentuan Basler tahun 1531, barulah pemberian Privileg dimaksudkan untuk perlindungan hukum terhadap karya cipta berupa buku. Pada prinsipnya, perlindungan hukum yang diberikan pada karya cipta pada masa itu sangatlah jauh berbeda dengan perlindungan serupa yang dikenal pada mas kini. Dulu, yang diberikan perlindungan itu adalah buku (cetakan) dalam pengertian benda, sedangkan yang dilindungi sekarang ini adalah bukan bukunya itu dalam  pengertian yang (konkret), melainkan isi dari buku itu yang merupakan hasil dari karya intelektual manusia.
Pada masa ini, teori tentang Privileg berkembang pesat di negara – negara Eropa, seperti di Jerman, Inggris dan perancis
1.      Jerman
Di negara Jerman, pemberian suatu Privileg pada waktu itu erat kaitannya dengan hal sensor (Zensur) yang dilakukan oleh para raja atau para penasehat spiritual raja dengan maksud melindungi buku – buku cetakan. Komosaris buku – buku yang dibentuk oleh kerajaan pada tahun 1579 di Frankfurt am Main dan Leizig mempunyai arti khusus dalam sejarah privileg di Jerman, karena kedua kota tersebut menjadi pusat perdagangan buku dan tempat pameran buku – buku pada masa itu.
Ajaran tentang Hak Milik Percetakan di Jerman berkembang pesat dengan dibuatnya ketentuan – ketentuan tentang pencetakan buku (Buchdruckerordnungen) di Frankfurt am Main tahun 1588, 1598 dan 1660, juga di Nurnberg tahun 1673. Untuk pertama kali melalui sebuah Keputusan federal (Bundesbeschluß) pada tahun 1835 menyatakan pelarangan untuk memperbanyak karya cipta di alam teritorial Federal Jerman dan sekaligus juga memberikan perlindungan hukum terhadap karya cipta dimaksud. Melalui Keputusan Parlemen (Beschluß des Bundestags) tanggal 31 Oktober 1837 perlindungan hukum terhadap Hak Cipta dibatassi sampai 10 tahun p.m.a (post mortem auctoris) atau setelah si pencipta meninggal. Jangka waktu perlindungan Hak Cipta ini kemudian diperpanjang menjadi 30 tahun p.m.a dengan Beschulß tahun 1845.
Pada tanggal 11 Juli 1847 untuk pertama kalinya Preußen jerman memiliki undang – undang Hak Cipta di bidang ilmu pengetahuan dan seni yang relatif modern sifatnya. Menurut undang – undang ini, pelanggaran terhadap larangan perbanyakan merupakan perbuatan yang dapat dipidana. Masalah pemidanaan terhadap pembajakan karya cipta ini sebenarnya telah diajarkan oleh Fries dalam bukunya “Philisophische Rechtslehre” pada tahun 1803. Perpanjangan jangka waktu perlindungan Hak Cipta kembali dilakukan pada tahun 1934 menjadi 50 tahun p.m.a. Tindakan untuk memperpanjang masa perlindungan Hak Cipta ini dilatar belakangi oleh Artikel 7 ayat 1 Konvensi Bern tahun 1886 yang memberikan perlindungan bagi Hak Cipta sampai 50 tahun p.m.a. Dengan Urhebegesetz (UU Hak Cipta) tahun 1965 memberikan perlindungan hukum kepada Hak Cipta selama 70 tahun p.m.a.
Perkembangan selanjutnya semakin memperlihatkan keseriusan Jerman dalam mencermati Hak Cipta. Ini bisa dilihat pada tahun 1876 dihasilkan 3 undang – undang:
Undang – undang Hak Cipta tentang Karya Seni tanggal 9 Januari 1876
Undang – undang tentang Perlindungan Fotografi terhadap Reproduksi Secara illegal tanggal 10 Januari 1876
Undang – undang Hak Cipta tentang Muster dan Model tanggal 11 januari 1876. Undang – undang ini hingga kini masih tetap berlaku sebagai hukum positif di Jerman.
Melalui Rechtsreform di bidang Hak Milik Intelektual, pada tanggal 9 September 1965 Parlemen Jerman mengundangkan Urhebergesetz (UUHC) yang berlaku hingga saat ini. Untuk mengikuti kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Urhebergesetz 1965 mengalami beberapa kali amandement pada tahun 1987 dan tahun 1994. Disamping itu UUHC, jerman juga memiliki undang – undang tentang paten sejak tanggal 16 Desember 1980, undang – undang tentang Merek tanggal 25 Oktober 1994. Untuk lebih memperkuat perlindungan hukum kepada Hak Milik Intelektual terhadap segala bentuk pelanggaran, pada tanggal 7 Maret 1990 Parlemen Jerman telah menyetujui sebuah undang – undang tentang Memperkuat Perlindungan Hak Milik Intelektual dan Memerangi tindakan pembajakan. Undang- undang ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelanggaran atas Hak Milik Intelektual yang dialakukan dengan menggunakan teknologi canggih di bidang informasi dan telekomunikasi, seperti melalui internet, perbanyakan melauli Disket, CD, VCD, LCD, dan lain – lain.

2.      Inggris
Di inggris teori tentang Hak Milik Percetakan berkembang menurut “company of stationers” yang dimaksudnya adalah hanya si pemilik percetakan yang memiliki hak untuk mencetak yang disebut dengan “owner of the copy”. Pada prinsipnya, tidak ada perbedaan antara Copyright System dengan Privilegien System, karena keduanya sama – sama melarang percetakan ulang buku yang dilakukan secara ilegal atau istilah yang populer sekarang ini adalah pembajakan buku.
Inggris merupakan negara pertama di muka bumi ini memiliki undang – undang Hak Cipta yang disebut dengan Act of 1709 yang dikeluarkan pada masa kerajaan Ratu Anne. Menurut Act ini si pencipta mempunyai hak penuh dan terbats untuk memperbanyak  ciptaannya. Hak cipta ini berlangsung selama 14 tahun, tapi dapat diperpanjang apabila si autor masih hidup. Barulah sejak tahun 1959 ketentuan perundang – undangan Hak Cipta di Inggris memberikan perlindungan Hak Cipta selama 50 tahun setelah si pencipta meninggal.

3.      Perancis
Semasa revolusi Perancis yang sangat terkenal itu, pada tanggal 7 Januari 1791 telah dilahirkan undang – undang pertama tentang hak Milik Intelektual. Pada tanggal 19 Juli 1793 diundangkan lagi ketentuan tentang perlindungan atas Hak Milik pencipta atas karya kesusasteraan, musik dan seni. Menurut ketentuan ini, jangka waktu perlindungan Hak Cipta berlaku selama hidup si pencipta dan 10 tahun setelah si pencipta meninggal.
Melalui Ordonasi Napoleon tanggal 8 Juni 1806 karya – karya seni seperti drama juga mendapat perlindungan hukum sebagi Hak Cipta. Tahun 1866 jangka waktu perlindungan Hak Cipta di Perancis diperpanjang menjadi 50 tahun setelah si pencipta meninggal. Setelah lampau waktu itu Hak Cipta menjadi domaine publique, artinya setiap orang bebas menggunakan Hak Cipta tersebut dengan sesuka hatinya, seperti memperbanyak, tetapi tetap harus menjaga dan memelihara droit moral si pencipta yang bersifat abadi itu.

Daftar Pustaka

Bluntschi, Deutsches Privatrecht, 1864, hal.15; bandingkan juga Rehbinder, Johan Caspar Bluntschi Beitrag zur Theorie des Urheberrechts, dalam UFITA Jilid 123/1993.
Fichte, Beweis der Unrechtmabigkeit des Buchernadrucks, 1973, dalam Berliner Zeitschrift, Jilid ke 21.
Gierke, Deutsches Privatrecht, 1895 Band 1, edisi cetakan ulang tahun 1936, hal. 748 dstnya.
Hegel, Vorlesungen uber Rechtsphilosophie 1811-1831, Edition dan Kommentar von llting, Karl-Heinz, Jilid 3, 1974, h. 68, 69.
Hubmann, Geistiges Eigentum, dalam Bettermann/ Nipperdey/ Scheuner, Die Grundrechte, Handbuch der Theorie und Praxis der Grundrechte, Jilid IV.
Institutiones II. 1. 33; Digesta XLI.1.9.1; Gieseke, Die geschichtliche Entwicklung des deutschen Urheberrechts, 1957.
Lembar Negara No. 15 Tahun 1982.
LembaranNegara No. 290 Tahun 1961.
Lembaran Negara No.31 Tahun 1997.
Lembaran Negara No. 81 Tahun 1992.
Lembaran Negara  RI No. 29 Tahun 1997.
Lembaran Negara  RI No. 30 Tahun 1997.
Lembaran Negara  RI No. 39 Tahun 1989.
Lembaran Negara  RI No. 42 Tahun 1987.
Locke, 1988, Two Treatises of Goverment, edited and introduced by Peter Laslett.
Schricker, Urheberrecht: Kommentar, 1987.
Staatsblad No. 109 tahun 1885.
Staatsblad No. 545 tahun 1912.
Ulmer, 1980, Urheber-und Verlagsrecht.

2EB12
NAMA KELOMPOK :
DINI IRIANI                            ( 22212195 )
KASANTI OKTAVIANI          ( 24212039 )
RICHKY APRISIA                  ( 26212280 )
ROFIFAH PRATIWI               ( 26212666 )

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL


HAK CIPTA DAN PENYEBARAN PENGETAHUAN
Diao Ai Lien
Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta
”The constraints to the flow of scholarly information
result not just from prohibitive pricing but from
the restrictions that commercial publishers seek to impose
on the kind of use an individual faculty member can make
of his or her own published work.”
(Pew Higher Education Roundtable, 1998)

Hak cipta direduksi menjadi hak moral
Yang dimaksud dengan pernyataan tersebut di atas adalah pemberlakuan hak cipta hanya sebatas hak moralnya. Dengan demikian siapa pun bisa mereproduksi, mengalihmediakan, dan menyebarkan suatu karya ilmiah, sepanjang bukan untuk tujuan komersial. Dengan demikian, jalur penyebaran informasi bisa lebih dipersingkat dengan memindahkan kendali penyebaran karya ilmiah dari penerbit ke penulis dan masyarakat, dan mengurangi proses publikasi yang lama dan biaya yang mahal. Monopoli hak cipta pun terhindari.

Hak cipta jenis ini sudah diberlakukan oleh gerakan Open Access (OA)Definisi OA menurut Budapest Open Access Initiative dan Public Library of Science adalah9:
“the free availability of literature on the public Internet, permitting any users to read, download, copy, distribute, print, search, or link to the full texts of these articles, crawl them for indexing, pass them as data to software, or use them for any other lawful purpose, without financial, legal, or technical barriers other than those inseparable from gaining access to the internet itself.” (Birdsall, 2005)

Di dalam konsep OA tersebut terkandung copyleft, yaitu sekumpulan lisensi yang diberikan pada setiap orang yang memiliki kopi suatu karya ilmiah untuk menjamin agar orang tersebut dapat menjalankan hak ekonomi atas karya tersebut (menggandakan, menyebarluaskan, memodifikasi) dengan syarat karya tersebut dan turunannya disebarkan dengan lisensi yang sama10. Dalam skenario ini, OA dan copyleft diberlakukan tidak hanya untuk dokumen elektronik, tetapi juga tercetak.

Dengan cara demikian, hak cipta tidak hanya menguntungkan segelintir orang (terutama penerbit yang justru tidak turut dalam penciptaan) dan mengabaikan kontribusi banyak orang terhadap penciptaan suatu karya.

Untuk mengurangi ketergantungan pada penerbit, peraturan mengenai penilaian dosen dan peneliti juga harus diubah, terutama dalam hal keharusan untuk menerbitkan dalam jurnal terakreditisasi dan/atau peer-reviewed. Kegiatan peer-review itu sendiri sebetulnya sudah bisa dilakukan di lembaga tempat dosen atau peneliti bekerja ataupun secara informal melalui rekan-rekan di milis.

Dalam hal penerbit masih diperlukan untuk penyebaran dan menjamin dokumentasi, pemerintah perlu membuat peraturan agar penerbitan dikelola oleh lembaga not-for profit yang tidak diperbolehkan mengambil keuntungan yang tidak wajar dari usaha penerbitannya sehingga menghambat penyebaran pengetahuan ilmiah. Dalam menentukan harga jual, penerbit harus mendasarkan penghitungannya lebih pada biaya daripada keuntungan. Penerbit harus transparan dalam hal melaporkan pengelolaan biaya produksi, serta menentukan harga jual yang tidak melebihi batas yang ditentukan pemerintah.


Hak cipta diberlakukan secara utuh tetapi tidak eklusif
Dalam hal ini, hak cipta tetap mengandung hak ekonomi dan hak moral. Namun siapapun yang memegangnya (penulis maupun penerbit), hak cipta (terutama hak ekonominya) tersebut tidak berlaku eksklusif dan dapat digunakan oleh siapa saja yang mempunyai dokumen yang bersangkutan, sepanjang tidak untuk tujuan komersial.

Dengan demikian, meskipun hak cipta sudah diserahkan ke penerbit, penulis bisa dengan leluasa memberikan hak ciptanya ke pihak lain lagi dengan atau tanpa royalti. Penulis juga bisa dengan bebas mereproduksi, mengalihmediakan, dan mendistribusikan karyanya, di mana saja dan kapan saja. Penulis dapat menerbitkan karya yang sama di lebih dari satu media sepanjang media media tersebut tidak berkeberatan mengenai hal ini, dan situasi ini dinyatakan dengan jelas di dalam publikasinya. Konsumen juga bisa memilih antara mendapatkan akses suatu karya melalui penerbit atau penulis atau melalui cara lain (misalnya dengan memfotokopi dari perpustakaan atau rekan sekerja). Dengan demikian tidak akan ada lagi monopoli hak cipta.

Hak cipta diberlakukan secara utuh dan eksklusif tetapi dalam jangka
waktu yang terbatas
Yang dimaksudkan dengan hal ini adalah, hak cipta tetap mengandung hak ekonomi dan hak moral, dan berlaku eksklusif bagi pemegangnya, namun jangka waktu berlaku hak ekonominya hanya 1-2 tahun (tergantung sejauh mana perkembangan pengetahuan akan ’dihambat’ demi pengumpulan keuntungan ekonomi). Sesudah jangka waktu tersebut berlalu, maka hak cipta utuh namun tidak eksklusif yang berlaku (lihat no. 2). Dengan perkataan lain, monopoli hak cipta hanya terjadi dalam waktu yang sangat terbatas.

Pilihan diserahkan pada pemilik hak cipta
Negara atau komunitas yang memilih pengaturan hak cipta jenis ini, membiarkan para pelaku komunikasi ilmiah memilih sendiri di antara 3 pilihan tersebut di atas. Tugas pemerintah adalah menyediakan aturan permainannya. Pilihan apa pun yang diambil harus dengan tujuan untuk meningkatkan kecepatan perkembangan dan mutu ilmu pengetahuan yang bersangkutan.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, C. (1999). Hak cipta: pelanggaran hak cipta dan perundang-undangan terbaru hak cipta indonesia. Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri.

Birdsall, W.F. (2005). Towards an integrated knowledge ecosystem: a canadian research strategy. A report submitted to the Canadian Association of Research Libraries / L'Association des bibliothèques de recherche du Canada (CARL/ABRC). Ditelusuri pada tanggal 11 April 2006 dari http://www.carlabrc. ca/projects/kdstudy/public_html/results.html

Durham, A.L. (2004). Brigham Young University Law Review, vol. 2004, iss.1, 69 hlm.

Houghton, J.W., Steele, C., dan Henty, M. (2003). Changing research practices in the digital information and communication environment.Ditelusuri darihttp://www.dest.gov.au/sectors/research_sector/publications_resources/other_publication s/changing_research_practices.htm pada tanggal 1 April 2006.

Nentwich, M. (2001). (Re-) de-commodification in academic knowledge distribution? Paper for the 5th ESA Conference, SSTNET session 4 on“Commodification of Knowledge”, 28/8-1/9 2001, Helsinki University.

Sahu, D.K., Gogtay, N.J., and Bavdekar, S.B. (2005). Effect of open access on citation rates for a small biomedical journal. Paper presented in the Fifth International Congress on Peer Review and Biomedical Publication, 16-18 September 2005, Chicago, USA. Ditelusuri dari http://openmed.nic.in/1174/ pada tanggal 1 April 2006.

Wikipedia. Ditelusuri dari http://en.wikipedia.org/wiki/Copyleft pada tangal 21 Desember 2004.


BIODATA PENULIS

DIAO AI LIEN, adalah staf pengajar FH Unika Atma Jaya. Bekerja di FH Unika Atma Jaya Jakarta sejak tahun 2003. Sebelumnya bekerja sebagai peneliti di Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Unika Atma Jaya. Alumni Fakultas Hukum Unika Atma Jaya (Jakarta), De La Salle University (Filipina) (MA in Social Sciences, major in Sociology), University of Sheffield (Inggris) (MA in Librarianship), dan Loughborough University of Technology (Inggris) (PhD in Information and Library Studies). Mengasuh matakuliah metode penelitian hukum dan statistik.

2EB12
NAMA KELOMPOK :
DINI IRIANI                           (22212195)
KASANTI OKTAVIANI         (24212039)
RICHKY APRISIA                  (26212280)
ROFIFAH PRATIWI                (26212666)