Selasa, 06 Mei 2014

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL


SEJARAH DAN TEORI PERLINDUNGAN
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Syafrinaldi
(Dosen tetap dan Direktur Pascasarjana Universitas Islam Riau)

D.   Kelahiran Teori Hak Milik Intelektual
Istilah Hak Milik Intelektual (HAMI) atau yang dikenal dalam bahasa asing “geistiges Eigentum” (Jerman), atauintellectual property right (Inggris), atau intelectuele propriete(Perancis) sangat dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang hak milik. Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak milik dari seorang manusia terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada sejak manusia itu lahir. Jadi benda dalam pengertian di sini tidak hanya benda yang berwujud tetapi juga benda yang abstrak, yang disebut dengan hak milik atas benda yang tidak berwujud yang merupakan hasil dari intelektualitasmanusia.
            Sehubungan dengan munculnya ajaran baru tentang Hak Milik Intelektual, I. Kant dalam bukunya “Von der Unrechtmabigkeit des Buchernachdrucks” tahun 1785 menekankan, bahwa si pencipta (Autor) memiliki hak yang tidak bisa dilihat atas karyanya, yang oleh Kant hak itu disebut dengan “Ius Personalissimus”, yaitu hak yang lahir dari dalam dirinya sendiri (hak kepribadian). Sementara itu filsuf lain,  sepertiFichte mengutarakan, bahwa seorang autor mempunyai hak atas suatu karya intelektualitasnya. Fitche lalu membedakan antara buku yang merupakan hasil karya dalam bentuk cetakan dengan isi dari buku itu sendiri (tulisannya). Dengan pembedaan ini eksistensi ajaran “geistiges Eigentum”  di Jerman semakin kokoh dikalangan masyarakat umum. Hegeljuga membedakan benda dalam dua bentuk: benda nyata (Sacheigentum) dan produksi intelektualitas manusia (geistige produktion).
Seorang Jurist Jerman yang bernama, Klostermann, pada tahun 1869 untuk pertama kalinya memakai istilah Hak Milik Intelektual (geistiges Eigentum) dalam karya yang berjudul: “Das geistige Eigentum an SchriftwerkenKunstwerkenund Erfindungen nach preubischem und internationalem Recht”, jilid 1. Karya Klostermann ini akhirnya memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi lahirnya peraturan perundangan dalam bidang Hak cipta dan desain industri di Norddeustschen Bundes dan Jerman Raya (Deutsches Reich). Pada tahun 1878 karya Klostermann ini mengalami perbaikan dan penyempuranaan dan terbit dengan judul yang baru “Das Urheberrecht an Schriftwerken, Abbildungen, musikalischen Kompositionen und dramatischen Werken”. Karya Klostermann yang lain adalah: “Das Urheberrecht an Schrift- und Kunstwerken, Abbildungen, Kompositionen, Photographien, Mustern und Modellen”, juga “Die Patentgesetzgebung aller Lander nebst den Gesetzen uber Musterschutz und Markenschutz” setahun kemudian tahun 1877 muncul lagi karya dalam bidang paten “Das Patentgesetz Fur das Deutsche Reich”. Bertitik tolak dari karya Klostermann ini, maka pengertian dari istilah “Hak Milik Intelektual” (geistiges Eigentum) mencakuptidak hanya Hak Cipta saja, melainkan juga paten, paten sederhana, merek, disain industri dan tata letak sirkit terpadu.

E.    Teori tentang Hak Kepribadian (Moral Right or Personlichkeitsrecht) dan Hak atas Benda Tak Berwujud (Immaterialguterrecht)
Pada Hak Milik Intelektual sesungguhnya terkandung dua sisi: hak kepribadian dan hak yang bersifat material (ekonomis). Pandangan kedua sisi ini pula yang melahirkan dua teori yang cukup tersohor dalam perkembangan Hak Milik Intelektual sampai pada hari ini. pandangan pertama mengatakan, bahwa Hak Milik Intelektual itu terdapat kedua aspek itu yang merupakan satu kesatuan. Akan tetapi di antara kedua aspek itu, aspek kepribadian lebih dominan, karena terjalinnya hubungan yang erat antara si pencipta dengan ciptaannya. Teori ini dikenal dengan Monistism Theory (Teori Monistisme) yang dipelopori oleh Bluntschi dan kemudian dikembangkan oleh Gierke. Teori ini, seperti dikemukakan oleh Gierke, lebih jauh menjelaskan, bahwa sebuah karya cipta adalah merupaakn hasil / produk dari intelektualitas manusia, sehingga menimbulkan hubungan sangat erat antara karya cipta dengan si penciptanya (autor). Jadi, teori ini menempatkan sifat kepribadian dari si penciptanya sebagai hal yang “Primair” dan menempatkan sifat ekonomisnya sebagai hal yang “Sekundair”. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa kepentingan kepribadian si pencipta lebih ditonjolkan dari pada kepentingan ekonomisnya. Sehingga, jika si penciptanya sudah meninggal, ahli warisnya masih tetap mempunyai hak untuk mempertahankan kepentingan kepribadian si penciptanya. Kepentingan si pencipta itu bersifat abadi dan kekal (Forever), sedangkan kepentingan ekonomis si pencipta itu terbatas dengan waktu, seperti untuk Hak Cipta dibatasi sampai 50 (lima puluh) tahun p.m.a
Pandangan kedua yang dikenal dengan teori Dualistism(teori Dualistisme) mengatakan, bahwa antara sisi kepribadian dan ekonomis itu merupakan dua hal yang terpisah satu sama lainnya. Hak cipta merupakan hak yang didalamnya terkandung nilai ekonomis semata. Teori ini dipelopori oleh ahli hukum terkenal dari Jerman, Josef Kohler dengan teorinya yang terkenal dengan “Immaterialguterrecht”. Kohler menjelaskan, bahwa adanya hubungan yang sangat istimewa antara orang (autor) dengan benda tak berwujud (immateriales Gut). Jadi, menurut kohler, aspek ekonomis dari Hak Milik Intelektual lebih menonjol dari aspek kepribadiannya.
Dari kedua teori di atas melahirkan teori ketiga yang pada prinsipnya merupakan penyempuranaan dari pandangan yang pertama, sehingga teori ini disebut dengan the modern monistism theory (teori monistisme modern)-menurut teori ini, antara aspek kepribadian dan ekonomi dari Hak Milik Intelektual ini merupakan satu kesatuan yang utuh. Keduanya sama-sama mendapat perlindungan hukum dari hukum positif, baik oleh hukum internasional maupun oleh hukum negara-negara nasional. Teori ini di Jerman dipelopori oleh Jurist abad ke 20, seperti Ulmer, Schricker, dll. Dalam Urhebergesetz tahun 1965 (UUHC Jerman) pasal 11 secara jelas menganut teori yang terakhir ini. Begitu juga dengan UU Hak Cipta No. 6 tahun 1982 juga menganut paham yang ketiga ini.

F.    Pengaruh Hukum Internasional dalam Perkembangan Hak Milik Intelektual
Peranan Hukun internasional, baik perjanjian bilateral maupun multilateral, dalam perkembangan hokum tentang perlindungan Hak Milik Intelektual tidak dapatdipungkiri. Hal ini bias dilihat dari berbagai perjanjian bilateral yang diadakan oleh Negara-negara atau Negara dengan kota pada waktu itu dengan tujuan melindungi Hak Milik Intelektual seperti Hak Cipta. Misalnya saja perjanjian Preuben (Jerman pada waktu itu) dengan kerajaan Inggris pada tanggal 13 Mei 1846 dan 14 Juni 1855. Perjanjian antara kota Hannover (di Jerman) dengan kerajaan Inggris tanggal 16 Agustus 1853.
Pada tingkat perjanjian multiteral, pada tanggal 20 Maret 1883 telah ditanda tangani konversi Paris tentang Perlindungan Hak Milik Perindustrian (Paris Convention for the Protection of Industrial Property).Sepuluh Negara yang sepakat pada waktu itu ialah: Belgia, Jerman, Prancis, Inggris, Itali, Luxemburg, Monako, Swiis, Spanyol dan Tunisia. Perjanjian Bern merupakan tonggak sejarah penting dalam hokum internasional untuk memberikan perlindungan hukum atas Hak Milik Intelektual, khususnya Hak Cipta, sedangkan perjanjian Paris untuk bidang Hak Milik Perindustrian, seperti Paten dan Merek, desain Industri, rahasia dagang, desain tata letak sirkit terpadu, perlindungan varietas tanaman dan anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian Bern telah beberapa kali mengalami perbaikan dan penyempurnaan, yaitu pada tanggal 13 November 1908 dan tanggal 20 Maret 1914 di Berlin, tanggal 2 Juni 1928 di Roma, tanggal 26 Juni1948 di Brussel, tanggal 14 Juli 1967 di Stockohlm dan di Paris tanggal 24 Juli 1971. Indonesia sejak 5 Juni 1997 telah meratafikasoBern dan dengan demilian terikat dengan Hukum internasional tersebut.
Setelah ditanda tangani perjanjian Paris dan Bern, beberapa perjanjian internasional lainnya mengikuti langkah sepuluh Negara penandatangan perjanjian Bern dengan mendirikan berbagai organisasi internasional yang bertugas untuk memperhatiakn masalah perlindungan Hak Milik Intelektual di berbagai Negara di dunia.
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang diploklamirkan oleh PBB (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 dalam Artikel  27 Ayat 2 juga telah meningkatkan kepada Negara-negara dunia tentang perlindungan Hak Milik Intelektual itu. Art. 27 Ayat 2: “Everyoney has the right to the protection of the moral and material interests from any scientific, literary or artistic production of which he is the author”.
Perjanjian internasional untuk mendirikan Organisasi Hak Milik Intelektual seDunia (World Intellectual Property Organisation – WIPO/ OMPI) dilakukan pada tanggal 14 Juli 1967 di Stockohlm. Organisasi ini bertugas untuk menggalang kerja sama antara Negara dalam bidang perlindungan Hak Milik Intelektual, seperti yang termaktub dalam artikel 3 huruf i WIPO, organisasi ini tidak saja mengurusi mengenai HakCipta, tetapi juga Hak Milik dalam bidang Industri, seperti paten, rekaman suara, hak penyiaran, muster dan model, merek dan merek dagang serta masalah paten. WIPO adalah merupakan pusat administrasi dari perjanjian Bern dan mempunyai kerjasama yang erat dengan organ Persatuan Bangsa-Bangsa UNESCO (United Nations for Education, Social and Cultul Organisation).
Setelah ketidakberdayaan GATT (General Agreement on Tariff and Trade) dalam menjalankan misinya dalam mengatur berbagai hal dalam perdagangan dan tariff intenasional, maka sejak tanggal 15 April 1994 secara resmi GATT diganti dengan lembaga baru yang mengurusi mengenai perdagangan dunia yang dikenal denga World Trade Organisatio(WTO). Di samping WTO pada waktu yang sama juga dihasilkan Perjanjian yang berkenaan dengan aspek-aspek Hak Milik Intelektual (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights – TRIPs). Dalam Preambel Perjanjian TRIPs ini dinyatakan, bahwa TRIPs bertujuan untuk memberikan perlindungan huku yang lebih baik kepada Hak Milik Intelektual.

G.   Perlindungan Hak Milik Intelektual di Indonesia
Sebagai negara bekas jajahan Belanda, maka sejara hukum tentang perlindungan HAMI di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan sejarah hukum serupa di Belanda pada masa itu, karena hampir segala peraturan yang berlaku di Belanda waktu itu juga diberlakukan di Hindia Belanda (nama Indonesia waktu itu) dengan azas konkordansi. Maka dari itu bila kita lihat dari masa penjajahan sampai sekarang ini, usia HAMI boleh dikatakan sudah lama. Tapi bila dilihat dengan kenyataan yang ada sampai saat ini, maka ketentuan HAMI masih jauh dari yang diharapkan menurut standar Internasional, baik dilihat dari rumusan hukum positif apalagi dari segi pelaksanaan hukum itu sendiri di lapangan dalam menghadapi kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran HAMI.
Berdasarkan kepada pasal II aturan Peralihan UUD 1945, segala peraturan perundang-undangan yang dibuat pada zaman penjajahan dan yang berlaku sampai saat ini dinyatakan masih berlaku sepanjang peraturan tersebut belum diganti dengan yang baru dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Secara khusus Keputusan Pemerintah tanggal 10 Oktober 1945 juga menegaskan hal itu. Berikut uraian sejarah HAMI di Indonesia.
1.      Hak Cipta
UUHC yang pertama berlaku di Indonesia adalah UUHC tanggal 23 September 1912 (Auterswet 1912) yang berasal dari negeri Belanda.  UUHC tahun 1912 ini masih terus diberlakukan, meskipun baru untuk pertama kalinya Indonesia mencoba untuk mewujudkan suatu UU nasional tentang Hak Cipta. Usaha untuk mewujudkan UUHC nasional ini dirintis dengan dihasilkannya RUU tentang Hak Cipta yang untuk pertama kalinya dibicarakan pada tanggal 9 Januari 1965. Kajian lanjut tentang RUU ini pada tanggal 20 sampai dengan 22 Oktober 1975 diadakan seminar tentang Hak Cipta guna mendapatkan masukan dari masyarakat tentang nasib RUU tersebut. Setelah menjalani waktu yang cukup panjang pada tanggal 12 April 1982 RUU Hak Cipta disetujui oleh DPR untuk ditetapkan menjadi UU No. 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta dan diberlakukan sejak hari itu juga. Dengan diberlakukannya UU No. 6 Tahun 1982, maka UUHC tahun 1912 dinyatakan tidak berlaku lagi. Lima tahun kemudian UUHC ini mengalami perubahan dengan UU No. 7 tahun 1987 dan 12 tahun kemudian dirubah lagi dengan UU No. 12 tahun 1997. Perubahan terhadap UU tentang Hak Cipta, Paten dan Merek pada tahun 1997 ini memang merupakan satu paket reformasi hukum dalam bidang HAMI. Pada tanggal 11 Juli 2002 Dewan Perwakilan Rakyat RI telah pula menyetujui RUU Hak Cipta menjadi Undang-Undang Hak Cipta yang baru dan sekaligus menggantikan UU Hak Cipta yang lama.
2.      Paten
Peraturan zaman penjajahan tentang HAMI, dapat dikatakan sebagai ketentuan hukum tentang paten yang tertua di bidang HAMI. Dalam“Reglement op het verlenen van uitsluitende regten op uitvindingen, invoeringen en verbeteringen van voorwerpen van kunst en volksvlijk 1817”(ketentuan tentang pemberian hak secara eksklusif terhadap penemuan, pengenalan dan perbaikan atas bidang kesenian rakyat) yang kemudian tahun 1844 diberlakukan di Hindia Belanda. Pada tahun 1870 undang-undang ini tidak diberlakukan lagi atau dicabut. Undang-undang ini tidak segera diganti dengan yang baru, karena baru pada tahun 1911 UU tentang Paten diberlakukan yang setahun sebelumnya (tahun 1910) sudah diberlakukan di Belanda. UU tahun 1911 ini kemudian mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan. Perbaikan dan penyempurnaan itu dilakukan pada tahun 1916, 1921, 1922, 1931, 1936, 1937 dan terakhir tahun 1949. Setelah Indonesia merdeka, keberadaan UU tentang Paten ini mulai mendapat perhatian pada Jurist Indonesia, karena prinsip souverenitat yang dianut oleh UU ini sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan nafas kemerdekaan RI. Sebabnya adalah, bahwa wewenang pengujian paten berada di Belanda, sedangkan Jakarta atau Indonesia hanya dianggap sebagai kantor cabang dari kantor paten pusat di Belanda. Hal ini jelas bertentangan dengan kedaulatan negara Indonesia sebagai negara merdeka yang diakui oleh dunia internasonal.
Berdasarkan kepada hal di atas, maka pada tanggal 28 Agustus 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan Pengumuman tentang Pencatatan Sementara untuk Paten. Ketentuan ini merupakantemporary lawdi bidang paten untuk mengisi kekosongan hukum dan juga sebagai bukti, bahwa sebagai negara berdaulat Indonesia tidak bisa didikte oleh kekuatan luar negeri termasuk dalam hal paten. Polemik ketentuan hukum tentang paten ini baru dapat diselesaikan setelah pemerintah mengeluarkan UU No. 6/1989 tentang Paten. Dengan diberlakukannya UU No 6/ 1989, maka muncul pertanyaan: apakah Pengumuman Menteri Kehakiman RI tanggal 28 Agustus 1953 masih tetap berlaku? Untuk jawabannya lihat pasal 131 ayat 1 dinyatakan, bahwa dalam waktu satu tahun sejak tanggal mulai berlakunya UU No 6/1989, mereka yang telah mengajukan pendaftaran permintaan paten berdasarkan Pengumuman Pemerintah tahun 1953 dalam 10 tahun sebelum tanggal mulai berlakunya UU No. 6/ 1989 ini, dapat mengajukan permintaan paten berdasarkan ketentuan undang-undang. Selanjutnya ayat 2 menjelaskan lagi, bahwa apabila permintaan paten yang telah terdaftar dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak diajukan kembali dalam saktu satu tahun terhitung sejak tanggal berlakunya UU ini, permintaan paten tersebut dianggap berakhir. Ayat 3 melanjutkan lagi, bahwa pendaftaran permintaan paten berdasarkan Pengumuman Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 yang diajukan lebih dari 10 tahun sebelum mulai tanggal berlakunya UU ini, dinyatakan  gugur. UU tentang Paten ini pada tahun 1997 mengalami revisi dengan UU No. 13 tahun 1997. Pada akhirnya UU Paten 1997 ini digantikan oleh UU Paten No. 14 tahun 2001.
3.      Merek
Ketentuan hukum tentang perlindungan atas merek untuk pertama kalinya dimuat dalam KUH Pidana (Wetboek van Strafrecht – WvS) Hindia Belanda tahun 1848. Pasal 89 WvS menetapkan, bahwa penyalahgunaan atas segel, stempel dan merek atas lembaga Bank atau perdagangan yang dilindungi oleh hukum. Sedangkan undang-undang tentang merek untuk Hindia Belanda baru ditetapkan pada tahun 1885. Delapan tahun kemudian, tahun 1893 setelah Perjanjian Madrid tentang Pendaftaran Merek Internasional disetujui, UU Merek baru bagi Hindia Belanda diberlakukan untuk menggantikan UU Merek sebelumnya. UU Merek ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1894. Pada tahun 1905 UU Merek ini mengalami perubahan dengan Stb. No. 427 tahun 1905. Selanjutnya UU Merek tahun 1905 digantikan dengan UU Merek yang baru pada tahun 1912 (Reglement Industrieele Eigendom 1912) yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Maret 1913.
Enam belas tahun setelah Indonesia merdeka baru pada tahun 1961 mempunyai undang-undang nasional tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan, yakni UU No. 21 tahun 1961. Berbagai kelemahan yang dimiliki oleh UU No. 21 ini menyebabkan Pemerintah Indonesia untuk menggantikannya dengan UU tentang Merek yang baru dengan UU No. 19 tahun 1992. Dengan diberlakukannya UU No. 19 ini, maka UU No. 21 tahun 1961 dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 89 UU No. 19/1992). UU No. 19/1992 ini baru berlaku secara efektif pada tanggal 1 April 1993. UU Merek yang baru berlaku empat tahun ini mengalami nasib yang sama dengan UU tentang Paten, karena pada tahun 1997 UU No. 19/ 1992 direvisi dengan UU No. 14 tahun 1997. Seperti halnya UU Paten, UU Merek baru yakni UU No. 15 tahun 2001 menggantikan UU Merek yang lama.

H.    Penutup
Dari perkembangan sejarah lahirnya Hak Milik Intelektual di atas, dapat dipahami dengan jelas betapa bijaknya para ilmuwan dulu yang telah melahirkan suatu gagasan atau ide untuk memberikan perlindungan hukum terhadap suatu karya Hak Milik Intelektual. Jerman dapat dikatakan sebagai negara tertua yang mempelopori lahirnya hukum perlindungan Hak Milik Intelektual yang kemudian diikuti ileh negara-negara Eropa lainnya.
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam perjalanan waktu dari masa ke masa telah menunjukkan kepada kita bahwa perkembangan hukum internasional dalam bidang Hak Milik Intelektual sangat monumental sekali sebagaimana bisa dilihat dengan lahirnya TRIPs-Agreement pada tahun 1994.TRIPs-Agreement menyampaikan pesan komando kepada negara-negara internasional untuk melakukan harminisasi peraturan perundang-undangan nasional dengan TRIPs-Agreement dan ketentuan-ketentuan hukum internasional lainnya

Daftar Pustaka

Bluntschi, Deutsches Privatrecht, 1864, hal.15; bandingkan juga Rehbinder, Johan Caspar Bluntschi Beitrag zur Theorie des Urheberrechts, dalam UFITA Jilid 123/1993.
Fichte, Beweis der Unrechtmabigkeit des Buchernadrucks, 1973, dalam Berliner Zeitschrift, Jilid ke 21.
Gierke, Deutsches Privatrecht, 1895 Band 1, edisi cetakan ulang tahun 1936, hal. 748 dstnya.
Hegel, Vorlesungen uber Rechtsphilosophie 1811-1831, Edition dan Kommentar von llting, Karl-Heinz, Jilid 3, 1974, h. 68, 69.
Hubmann, Geistiges Eigentum, dalam Bettermann/ Nipperdey/ Scheuner, Die Grundrechte, Handbuch der Theorie und Praxis der Grundrechte, Jilid IV.
Institutiones II. 1. 33; Digesta XLI.1.9.1; Gieseke, Die geschichtliche Entwicklung des deutschen Urheberrechts, 1957.
Lembar Negara No. 15 Tahun 1982.
LembaranNegara No. 290 Tahun 1961.
Lembaran Negara No.31 Tahun 1997.
Lembaran Negara No. 81 Tahun 1992.
Lembaran Negara  RI No. 29 Tahun 1997.
Lembaran Negara  RI No. 30 Tahun 1997.
Lembaran Negara  RI No. 39 Tahun 1989.
Lembaran Negara  RI No. 42 Tahun 1987.
Locke, 1988, Two Treatises of Goverment, edited and introduced by Peter Laslett.
Schricker, Urheberrecht: Kommentar, 1987.
Staatsblad No. 109 tahun 1885.
Staatsblad No. 545 tahun 1912.
Ulmer, 1980, Urheber-und Verlagsrecht.

2EB12
NAMA KELOMPOK :
DINI IRIANI                            ( 22212195 )
KASANTI OKTAVIANI         ( 24212039 )
RICHKY APRISIA                  ( 26212280 )
ROFIFAH PRATIWI               ( 26212666 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar